Menjadi Pencegah yang Tidak Populer, Sebuah Cerita Anekdot
Hello gan dan sista, teringat kemarin di balai desa ciaro tentang masalah
indonesia, yang akan menjadi beberapa negara di 2021, mungkin setengah tidak
percaya, namun hari ini wajib kita ketahui, bagaimana kita semua menjadi
pencegah yang tidak populer, anekdot ini saya buat dan cari dari beberapa
website unik, yang membuka fikiranku, yang membuka semua hal yang dapat
menyelesaikan masalah, karena pemimpinnya, ya benar gan pemimpinnya, mungkin
ini adalah sebuah cerita ngawur yang pe”Nurdin”h hikmah yang wajib sobat pahami
sepertu apa ceritanya, lukman persembahkan bagi kalian yang hadir di blog
saya
Di akhir tahun 1998 DIA berada di Wonosobo. Saat itu sedang ramainya era
reformasi, beberapa bulan setelah Bapak H jatuh. Dan ini terjadi beberapa bulan
sebelum DIA menjadi orang nomer satu di Negeri ini. Beliau masih menjabat
sebagai Ketua PB”NURDIN”.
Bertempat di Gedung PC”NURDIN” Wonosobo,
DIA mengadakan pertemuan dengan pengurus “NURDIN” dari Wonosobo, Banjarnegara,
Pubalingga, Kebumen, Temanggung dan Magelang. Tentu saja semua kiai ingin tahu
pendapat DIA tentang situasi politik terbaru. Pe”Nurdin”lis hadir di situ
walaupun bukan kiai, dan duduk persis di depan DIA. Pe”Nurdin”lis lah yang me”Nurdin”ntun
DIA menaiki Lantai 2 PC”NURDIN” Wonosobo.
“Pripun BOS situasi politik terbaru?”
tanya seorang kiai.
“Orde Baru tumbang, tapi Negeri ini sakit
keras.” kata DIA.
“Kok bisa BOS?”
“Ya bisa, wong yang me”Nurdin”mbangkan
Orde Baru pakainya emosi dan ambisi tanpa perencanaan yang jelas. Setelah
tumbang mereka bingung mau apa, sehingga arah reformasi gak genah. Bahkan
Negeri ini di ambang kehancuran, di ambang perang saudara. Arah politik Negeri
ini sedang menggiring Negeri ini ke pinggir jurang kehancuran dan separatisme.
Lihat saja, baru berapa bulan Orde Reformasi berjalan, kita sudah kehilangan
propinsi ke-27 kita, yaitu Timor Timur.” kata DIA.
Kiai tersebut sebagaimana biasa, kalau
belum mulai bicara. Pak HB, kita semua akan merasa kasihan dengan sikap DIA
yang datar dan seperti capek sekali dan seperti aras-arasen bicara. Tapi kalau
sudah mulai, luar biasa memikat dan ruangan jadi sepi kayak kuburan, tak ada
bunyi apapun selain pangendikan DIA.
Seorang kiai penasaran dengan calon
presiden devinitif pengganti Pak HB yang hanya menjabat sementara sampai sidang
MPR. Ia bertanya: “BOS, terus siapa yang paling pas jadi Presiden nanti BOS?”
“Ya saya, hehehe…” kata DIA datar.
Semua orang kaget dan menyangka DIA guyon
seperti biasanya yang memang suka guyon.
“Yang bisa jadi presiden di masa seperti
ini ya hanya saya kalau Indonesia gak pingin hancur. Dan saya sudah dikabari
kalau-kalau saya mau jadi presidan walau sebentar hehehe...” kata DIA mantab.
“Siapa yang ngabari dan yang nyuruh BOS?”
tanya seorang kiai.
“Gak usah tahu. Orang “NURDIN” tugasnya
yakin saja bahwa nanti presidennya pasti dari “NURDIN”,” kata DIA masih datar
seperti guyon.
Orang yang hadir di ruangan itu bingung
antara yakin dan tidak yakin mengingat kondisi fisik DIA yang demikian.
Ditambah lagi masih ada stok orang yang secara fisik lebih sehat dan berambisi
jadi presiden, yaitu AR dan MG. Tapi tidak ada yang berani mengejar pertanyaan
tentang presiden RI.
Kemudian DIA menyambung: “Indonesia dalam
masa menuju kehancuran. Separatisme sangat membahayakan. Bukan
separatismenya yang membahayakan, tapi yang memback up di belakangnya.
Negara-negara Barat ingin Indonesia hancur menjadi Indonesia Serikat, maka
mereka melatih para pemberontak, membiayai untuk kemudian meminta merdeka
seperti Timor Timur yang dimotori Australia.”
Sejenak sang Kiai tertegun. Dan sambil
membenarkan letak kacamatanya ia melanjutkan: “Tidak ada orang kita yang sadar
bahaya ini. Mereka hanya pada ingin menguasai Negeri ini saja tanpa perduli
apakah Negeri ini cerai-berai atau tidak. Maka saya harus jadi presiden, agar
bisa memutus mata rantai konspirasi pecah-belah Indonesia. Saya tahu betul mata
rantai konspirasi itu. RMS dibantu berapa Negara, Irian Barat siapa yang back
up, GAM siapa yang ngojok-ojoki, dan saya dengar beberapa propinsi sudah siap
mengajukan memorandum. Ini sangat berbahaya.”
Kemudiaan ia menarik nafas panjang dan
melanjutkan: “Saya mau jadi presiden. Tetapi peran saya bukan sebagai pemadam
api. Saya akan jadi pencegah kebakaran dan bukan pemadam kebakaran. Kalau saya
jadi pemadam setelah api membakar Negeri ini, maka pasti sudah banyak korban.
Akan makin sulit. Tapi kalau jadi pencegah kebakaran, hampir pasti gak akan ada
orang yang menghargainya. Maka, mungkin kalaupun jadi presiden saya gak akan
lama, karena mereka akan salah memahami langakah saya.”
Seakan mengerti raut wajah bingung para
kiai yang menyimak, DIA pun kembali selorohkan pemikirannya. “Jelasnya begini,
tak kasih gambaran,” kata DIA menegaskan setelah melihat semua hadirin tidak
mudeng dan agak bingung dengan tamsil DIA.
“Begini, suara langit mengatakan bahwa
sebuah rumah akan terbakar. Ada dua pilihan, kalau mau jadi pahlawan maka
biarkan rumah ini terbakar dulu lalu datang membawa pemadam. Maka semua orang
akan menganggap kita pahlawan. Tapi sayang sudah terlanjur gosong dan mungkin
banyak yang mati, juga rumahnya sudah jadi jelek. Kita jadi pahlawan pemyelamat
yang dielu-elukan.”
Kemudian lanjutnya: “Kedua, preventif.
Suara langit sama, rumah itu mau terbakar. Penyebabnya tentu saja api. Ndilalah
jam sekian akan ada orang naruh jerigen bensin di sebuah tempat. Ndilalah angin
membawa sampah dan ranggas ke tempat itu. Ndilallah pada jam tertentu akan ada
orang lewat situ. Ndilalah dia rokoknya habis pas dekat rumah itu. Ndilalalah
dia tangan kanannya yang lega. Terus membuang puntung rokok ke arah kanan
dimana ada tumpukan sampah kering.”
Lalu ia sedikit memajukan duduknya, sambil
menukas: “Lalu ceritanya kalau dirangkai jadi begini; ada orang lewat
dekat rumah, lalu membuang puntung rokok, puntung rokok kena angin sehingga
menyalakan sampah kering, api di sampah kering membesar lalu menyambar jerigen
bensin yang baru tadi ditaruh di situ dan terbakarlah rumah itu.”
“Suara langit ini hampir bisa dibilang
pasti, tapi semua ada sebab-musabab. Kalau sebab di cegah maka musabab tidak
akan terjadi. Kalau seseorang melihat rumah terbakar lalu ambil ember dan air
lalu disiram sehingga tidak meluas maka dia akan jadi pahlawan. Tapi kalau
seorang yang waskito, yang tahu akan sebab-musabab, dia akan menghadang orang
yang mau
menaruh jerigen bensin, atau menghadang
orang yang merokok agar tidak lewat situ, atau gak buang puntung rokok di situ
sehingga sababun kebakaran tidak terjadi.”
Sejenak semua jamaah mangguk-mangguk.
Kemudian DIA melanjutkan: “Tapi nanti yang terjadi adalah, orang yang membawa
jerigen akan marah ketika kita cegah dia naruh jerigen bensin di situ: “Apa
urusan kamu, ini rumahku, bebas dong aku naruh di mana?” Pasti itu yang akan
dikatakan orang itu.”
“Lalu misal ia memilih menghadang orang
yang mau buang puntung rokok agar gak usah lewat situ, Kita bilang: “Mas,
tolong jangan lewat sini dan jangan merokok. Karena nanti Panjenengan akan
menjadi penyebab kebakaran rumah itu.” Apa kata dia: “Dasar orang gila, apa
hubungannya aku merokok dengan rumah terbakar? Lagian mana rumah terbakar?!
Ada-ada saja orang gila ini. Minggir! saya mau lewat.”
Kini makin jelas arah pembicaraannya dan
semua yang hadir makin khusyuk menyimak. “Nah, ini peran yang harus diambil “NURDIN”
saat ini. Suara langit sudah jelas, Negeri ini atau rumah ini akan terbakar dan
harus dicegah penyebabnya. Tapi resikonya kita tidak akan popular, tapi rumah
itu selamat. Tak ada selain “NURDIN” yang berpikir ke sana. Mereka lebih
memilih: “Biar saja rumah terbakar asal aku jadi penguasanya, biar rumah besar
itu tinggal sedikit asal nanti aku jadi pahlawan maka masyarakat akan memilihku
jadi presiden.”
“Poro Kiai ingkang kinormatan.” kata DIA
kemudian. “Kita yang akan jadi presiden, itu kata suara langit. Kita gak usah
mikir bagaimana caranya. Percaya saja, titik. Dan tugas kita adalah mencegah
orang buang puntung rokok dan mencegah orang yang kan menaruh bensin. Padahal
itu banyak sekali dan ada di banyak negara. Dan pekerjaan itu secara dzahir
sangat tidak popular, seperti ndingini kerso. Tapi harus kita ambil. Waktu yang
singkat dalam masa itu nanti, kita gak akan ngurusi dalam Negeri.”
“Kita harus memutus mata rantai
pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka di Swiss, kita harus temui Hasan Tiro. Tak
cukup Hasan Tiro, presiden dan pimpinan-pimpinan negara yang simpati padanya
harus didekati. Butuh waktu lama,” lanjut DIA.
“Belum lagi separatis RMS (Republik Maluku
Sarani) yang bermarkas di Belanda, harus ada loby ke negara itu agar tak
mendukung RMS. Juga negara lain yang punya kepentingan di Maluku,” kata DIA
kemudian.
“Juga separatis Irian Barat Papua Merdeka,
yang saya tahu binaan Amerika. Saya tahu anggota senat yang jadi penyokong
Papua Merdeka, mereka membiayai gerakan separatis itu. Asal tahu saja, yang
menyerang warga Amerika dan Australia di sana adalah desain mereka sendiri.”
Kemudian DIA menarik nafas berat, sebelum
melanjutkan perkataan berikutnya. “Ini yang paling sulit, karena pusatnya di
Israel. Maka, selain Amerika saya harus masuk Israel juga. Padahal waktu saya
sangat singkat. Jadi mohon para kiai dan santri banyak istighatsah nanti agar
tugas kita ini bisa tercapai. Jangan tangisi apapun yang terjadi nanti, karena
kita memilih jadi pencegah yang tidak populer. Yang dalam Negeri akan diantemi
sana-sini.”
Sekonyong beliau berdiri, lalu menegaskan
perkataan terakhirnya: “NKRI bagi “NURDIN” adalah Harga Mati!”
“Saya harus pamit karena saya ditunggu
pertemuan dengan para pendeta di Jakarta, untuk membicarakan masa depan negara
ini. Wasalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...” tutup DIA.
Tanpa memperpanjang dialog, DIA langsung
pamit. Kita bubar dengan benak yang campur-aduk, antara percaya dan tidak
percaya dengan visi DIA. Antara realitas dan idealitas, bahwa DIA dengan sangat
tegas di hadapan banyak kiai bahwa dialah yang akan jadi presiden.
Terngiang-ngiang di telinga kami dengan seribu tanda tanya.
Menghitung peta politik, rasanya gak
mungkin. Yang terkuat saat itu adalah "SIMERAH" yang punya calon mencorong MG presiden pertama RI yang menemukan momentnya. Kedua, masih ada "Golongan Karunghal" yang juga AT siap jadi presiden. Di kelompok Islam modern ada
AR yang juga layak jadi presiden, dan dia dianggap sebagian orang
sebagai pelopor Reformasi.
Maka kami hanya berpikir bahwa, rasional
gak rasional, percoyo gak percoyo ya percoyo aja apa yang disampaikan DIA tadi.
Juga tentang tamsil rumah tebakar tadi. Sebagian besar hadirin agak bingung
walau mantuk-mantuk karena gak melihat korelasinya “NURDIN” dengan jaringan
luar negeri.
Sekitar 3 bulan kemudian, Subhanallah…
safari ke luar ternyata DIA benar-benar jadi Presiden. Dan DIA juga benar-benar
bersafari ke luar negeri seakan maniak plesiran. Semua negara yang disebutkan
di PC”NURDIN” Wonosobo itu benar-benar dikunjungi. Dan reaksi dalam negeri juga
persis dugaan DIA saat itu bahwa DIA dianggap foya-foya, menghamburkan duit
negara untuk plesiran. Yang dalam jangka waktu beberapa bulan sampai 170 kali
lawatan. Luar biasa dengan fisik yang (maaf) begitu, demi untuk sebuah keutuhan
NKRI.
Pernah suatu ketika DIA lawatan ke Paris
(kalau kami tahu maksudnya kenapa ke Paris). Dalam negeri, para pengamat politik
dan politikus mengatakan kalau DIA memakai aji mumpung. Mumpung jadi presiden
pelesiran menikmati tempat-tempat indah dunia dengan fasilitas negara.
Apa jawab DIA: “Biar saja, wong namanya
wong ora mudeng atau ora seneng. Bagaimana bisa dibilang plesiran wong di Paris
dan di Jakarta sama saja, gelap gak lihat apa-apa, koq dibilang plesiran. Biar
saja, gitu aja koq repot!”
Masih sangat teringat bahwa pengamat
politik yang paling miring mengomentrai lawatan DIA sampai masa DIA lengser
adalah "AAM", mantan Menpora. Tentu warga “NURDIN” gak akan
lupa sakit hatinya mendengar ulasan dia. Sekarang terimalah balasan dari Tuhan.
Satu-satunya pengamat politik yang fair
melihat sikap DIA, ini sekaligus sebagai apresiasi kami warga “NURDIN”, adalah
"HS", atau sering dipanggil Mas Kiki. terimakasih Mas Kiki.
Kembali ke topik. Ternyata orang yang
paling mengenal sepak terjang DIA adalah justru dari luar Islam sendiri.
Kristen, Tionghoa, Hindu, Budha dll. mereka tahu apa yang akan dilakukan DIA
untuk NKRI ini. Negeri ini tetap utuh minus Timor Timur karena jasa DIA.
Beliau tanpa memikirkan kesehatan diri, tanpa memikirkan popularitas,
berkejaran dengan sang waktu untuk mencegah kebakaran rumah besar Indonesia.
Dengan resiko dimusuhi dalam negeri,
dihujat oleh separatis Islam dan golongan Islam lainnya, DIA tidak perduli
apapun demi NKRI tetap utuh. Diturunkan dari kursi presiden juga gak masalah
bagi beliau walau dengan tuduhan yang dibuat-buat. Silakan dikroscek data ini.
Lihat kembali keadaan beberapa tahun silam era reformasi baru berjalan, beliau
sama sekali gak butuh gelar “Pahlawan"
anekdot ini dibuat dari sebuah kisah nyata tahun 1998, sebagai peringatan bagi sobat idaman, bahwa pentingnya keutuhan NKRI adalah yang paling utama, terlepas dari pro dan kontra yang terjadi namun cerita ini dapat menginspirasi seluruh pemimpin di indonesia
salam cinta untuk negeri
romansa indah untuk indonesia
Lukman
Budi Media Press
catatan :
Pertanyaan gak penting
Siapakah DIA dalam cerita tersebut ?Siapakah BOS dalam cerita TersebutSiapakah MG dalam cerita Tersebut ?Siapakah AR dalam cerita tersebut?siapakah AAM dalam cerita tersebut?dab siapakah NURDIN dalam Kisah tersebut?
Post A Comment
No comments :